Topik bisnis sosial sudah menjadi bahan diskusi para mahasiswa di kampus- kampus terkemuka di dunia sejak dua dekade terakhir. Tak mengherankan apabila obrolan bisnis mereka bukan lagi soal bagaimana menjadi cepat kaya, tapi bagaimana memulai bisnis yang berdampak sosial.
Tujuan bisnis dan sosial tadinya memang dipandang sebagai dua medan yang berada pada kutub yang berbeda, dan cenderung berseberangan. Bisnis berorientasi pada keuntungan semata-mata, sedangkan kegiatan sosial sama sekali mengharamkan hal itu. Tapi itu dulu, ketika ideologi bernama Neoliberalisme sedemikian kuatnya mencengkeram dunia, dan direproduksi oleh beragam institusi, termasuk institusi pendidikan tinggi.
Kini, hampir semua organisasi, baik bisnis maupun sosial, mulai bergerak ke jalur tengah. Memadukan bisnis dan sosial. Bisnis komersial melihat pentingnya memiliki dampak bersih yang positif sebagai cara mendapatkan keuntungan. Sementara, bisnis sosial adalah bentuk hibrid yang tumbuh luar biasa cepat.
Fenomena pergeseran ke tengah itu juga diikuti dengan runtuhnya perusahaan- perusahaan kapitalis raksasa yang sudah menguasai pasar bertahun-tahun lamanya. Enron dan Peabody Energy adalah salah dua perusahaan global di bidang energi yang terseok-seok karena masih bertahan di sisi ekstrem bisnis. Mereka lalu mati, tak bisa bertahan karena skandal (Enron) maupun inkompatibilitas dengan tuntutan modernitas bisnis (Peabody Energy) yang ditekankan para pemangku kepentingan.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang telah bergerak ke titik tengah mulai menuai hasil berupa kinerja yang lebih kokoh. Sebut saja empat pemegang sertifikat Benefit Corporations atau B Corps kelas dunia Triodos Bank, Patagonia, Ben & Jerry’s dan Danone. Tak hanya slogan, mereka membuktikan diri dengan kinerja tersertifikasi dan turut mengampanyekan Bisnis Untuk Kebaikan. Di Indonesia, Aqua Danone menjadi perusahaan ketiga yang mendapat sertifikasi B Corps setelah Indosole dan Percolate Galactic.
Bukan hanya kutub bisnis yang mulai bergerak ke tengah. Kutub sosial juga mulai bergerak ke arah yang sama. Bisa jadi mereka merasakan bahwa
kemampuan donasi untuk mendanai kegiatan mereka sudah mulai menurun. Dompet Dhuafa, sebuah lembaga filantropi Islam di Indonesia, sudah melakukan transformasi ke arah tengah. Bina Swadaya yang usianya sudah melampaui separuh abad sudah berlari kencang ke tengah lebih dahulu. Di belakangnya, ada juga beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang menyusul seperti Indonesia Corruption Watch.
Pergeseran kutub bisnis dan sosial ke titik tengah di antara keduanya, jelas mewakili fenomena pergeseran fokus perusahaan dari pemenuhan kepentingan shareholder (pemegang saham) menjadi kepentingan yang lebih luas, stakeholder (pemangku kepentingan). Adalah sebuah keniscayaan, pilihannya adalah bergeser atau mati, karena mustahil bisa memberikan kinerja finansial yang memuaskan kepada para pemegang saham bila pemangku kepentingan yang lain merasa diabaikan.
Satu lagi institusi bisnis yang mesti melakukan pergeseran adalah koperasi. Badan usaha yang dianggap paling cocok dan kompatibel untuk masyarakat Indonesia, bahkan dinyatakan sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, juga harus melakukannya. Sudah bukan eranya lagi koperasi hanya memerjuangkan kepentingan para anggotanya saja, tanpa melihat pertautannya dengan kepentingan pemangku kepentingan lainnya. Garis perjuangan koperasi seharusnya juga adalah memenuhi atau bahkan melampaui ekspektasi semua pemangku kepentingan.
Sesungguhnya, koperasi yang digagas oleh Bung Hatta itulah bisnis sosial yang sejak awal ada di negeri ini. Dengan perkembangan yang ada, koperasi semestinya bisa menjadi bisnis sosial yang benar. Tanpa itu, bersiaplah menjadi puing-puing sejarah.
Telah dimuat di harian Kontan, 28 02 2019
Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial Wisesa
Comments
Post a Comment