Allah Maha Adil. Ia memberi petunjuk, dalam bentuk perintah dan larangan. Manusia dibebaskan memilih, dengan segala konsekuensinya. Yang melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, insya Allah surga balasannya. Yang sebaliknya, balasannya neraka, insya Allah. Riba, adalah salah satu laranganNya. Bisa diduga ujungnya kan? Tentu bukan soal bisnis sukses atau bangkrut!
Karena Allah Maha Adil, maka keadilanNya pun bagi pelaksana riba maupun yang menghindarinya. Yang utama, sunnatullah mesti terpenuhi, antara lain penerapan kaidah-kaidah manajemen yang benar. Itu sebabnya, Bill Gates dan Sulaiman Al-Rajhi, dua contoh pebisnis yang mewakili 2 karakteristik yang bertolak-belakang di atas, bisa berhasil dalam bisnisnya. Soal perilaku filantropisnya, sheikh Al-Rajhi mungkin hanya kalah soal publikasi.
Karena Allah Maha Adil juga lah, kehancuran bisnis bisa terjadi pada kedua karakteristik itu. Yang kesana-kemari kampanye anti riba pun, bisnisnya bisa gagal. Juga yang cuek-bebek bergelimang riba. Mengapa?
Ini dugaan saya ya. Sekali lagi dugaan saya. Mau setuju boleh. Nggak setuju pun tak apa-apa. Pertama, karena bagi Allah, seluruh manusia (atau bahkan seluruh makhluk ciptaanNya) mau beriman atau ingkar kepadaNya, tidak ada pengaruhnya.
Kedua, tentu saja karena Allah ingin memberikan pilihan bebas kepada makhluknya : mau beriman atau ingkar. Balasannya nanti, bukan sekarang. Kalau semua orang beriman atau ingkar dibalasNya sekarang, haqqul yaqin, nggak akan ada manusia yang ingkar. Mesjid-mesjid penuh. Mangga Besar sepi. Dunia aman dan damai. Jadi hidup cuma plain aja. Tanpa warna.
Kalau kemudian ada orang beriman hidupnya sejahtera, atau ada orang ingkar hidupnya sengsara, itu baru DePe. Sekedar uang muka. Yang mesti diingat, nggak semua dapat uang muka. Yang nggak kebagian, di sana bakal dibayar cash ...
Kalau kemudian ada orang yang nyalah-nyalahin riba gegara bisnisnya bangkrut berkeping-keping, hutangnya menumpuk, menurut saya sih, dia cuma sekedar cari alasan. Menyalahkan pihak lain memang lebih mudah daripada introspeksi. Kalau pun kemudian dia jadi anti riba, dan kembali berbisnis, nggak akan serta-merta bisnisnya bakal sukses. Karena yang mestinya dia perbaiki bukan cuma soal itu, tapi yang lebih penting adalah soal perilaku dalam berbisnis.
Mau bukti? Aaaakh sutralah. Di atas sudah disebut kok. Bukti otentiknya lebih banyak lagi. Bank konvensional yang dianggap melanggengkan ‘riba’, prosentase Non Performing Loan (NPL) atau kredit macetnya di bawah 2 persen. Boleh jadi yang 98 persen nggak semuanya sukses bisnisnya. Tapi, yang sukses pasti lebih besar dari 2 persen.
Grameen Bank yang jadi kendaraan M Yunus memberdayakan orang miskin di Bangladesh, ket mbiyen tekan siki, masih pakai model bunga. NPLnya juga bikin banyak bank konvensional maupun syariah geleng-geleng kepala. Kenapa? Karena Yunus tidak ingin bertengkar soal halal-haram bunga bank, riba atau tidaknya bunga bank, tapi apa yang bisa dia lakukan untuk, - pada awalnya, membantu 42 orang miskin di Bangladesh membayar hutang sejumlah USD 27, yang tidak bisa membayar hutang seumur hidup karena jeratan kebodohan yang ditimpali kebengisan para lintah darat!
Wallaahu a’lam.
Comments
Post a Comment