Bertahun-tahun beraktivitas di dunia pendidikan (formal dan informal) memberikan begitu banyak pengalaman bagi diri saya. Berinteraksi dengan para guru dan kepala sekolah, juga dengan para siswa dan orang tuanya, dan sesekali berdialog dengan para pemegang kebijakan di dunia pendidikan, memberi warna tersendiri dalam perjalanan hidup ini.
Kali ini, izinkan saya mengelompokkan para siswa dalam kotak kuadran, berdasarkan keberadaan orang tua dan level kecerdasannya. Pemahaman kuadran siswa inilah yang kemudian memberikan saya pilihan, untuk memberikan prioritas dan perhatian kepada para siswa yang berada di kuadran empat, dalam beberapa kesempatan atau peluang belajar.
Saya mengelompokkan para siswa, atas dasar level kecerdasan siswa dan keberadaan orang tuanya. Pada kuadran satu, ditempati oleh para siswa dengan kecerdasan tinggi dan memiliki orang tua yang cukup berada (kaya). Para siswa yang menghuni kuadran satu ini adalah para siswa yang beruntung. Sayangnya, jumlah penghuni kuadran ini sedikit sekali. Bahasa sederhananya, kaya dan pintar jarang bisa kompak.
Para siswa kuadran satu tidak terlalu banyak membutuhkan bantuan pihak lain. Negara tidak perlu ikut campur. Apalagi lembaga amil zakat. Segala kebutuhan yang terkait dana, bisa jadi sudah dipenuhi oleh orang tuanya. Anak-anak kuadran satu bisa sekolah tinggi atas biaya ‘parents foundation’.
Kuadran dua, adalah para siswa dengan level kecerdasan rendah tapi berasal dari keluarga kaya. Siswa seperti ini juga beruntung, setidaknya jika dibandingkan dengan kuadran berikutnya. Walau kurang cerdas, tapi bisa jadi berbagai kebutuhannya bakal dipenuhi orang tuanya. Jika butuh guru untuk memberi pelajaran tambahan, orang tua pun tanpa pikir panjang berkenan mengeluarkan biaya tambahan. Sekolahnya pun, jika perlu di sekolah atau universitas swasta, bahkan di luar negeri. Kesimpulannya, siswa kuadran dua pun ‘diurus’ oleh orang tuanya tanpa butuh bantuan dana pihak lain.
Kuadran ketiga ditempati oleh para siswa dengan kecerdasan tinggi, tetapi berasal dari keluarga kurang mampu. Dahulu, saya sering menjumpai para siswa seperti ini yang tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena ketiadaan biaya. Kini, dengan makin membaiknya kondisi keuangan negara yang disertai dengan meningkatnya anggaran pendidikan, para siswa seperti ini semakin memiliki kesempatan mengenyam bangku pendidikan tinggi melalui jalur beasiswa. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan departemen Keuangan, saat ini adalah lembaga favorit pemberi beasiswa. Belum lagi kesempatan beasiswa yang diberikan oleh berbagai perguruan tinggi dan lembaga partikelir di dalam dan luar negeri. Dompet Dhuafa, pun memberikan beasiswa kepada anak-anak cerdas tapi kurang mampu di semua level pendidikan, sejak dasar hingga perguruan tinggi.
Yang sampai hari ini masih bernasib bagai anak tiri adalah para siswa yang berada di kuadran empat. Mereka masuk kategori kurang pandai, sekaligus berasal dari keluarga kurang mampu. Sayangnya, kedua hal ini sangat kompak di tanah air. Jumlah siswa yang masuk kategori ini jumlahnya paling banyak.
Nasib mereka jadi semakin tidak karuan karena pemerintah dan lembaga lain pun kurang peduli dengan nasib mereka. Padahal, tanpa perhatian yang mendalam terhadap siswa kuadran empat, bisa jadi mereka akan mudah terbawa arus kriminalitas.
Lapangan kerja yang sempit, disertai dengan keterampilan yang terbatas sangat mungkin jadi penyebab merebaknya berbagai kasus kejahatan. Bonus demografi yang digembar-gemborkan selama ini sebagai keuntungan bagi negara kita, bisa jadi bumerang yang justru mencelakakan perjalanan bangsa ini.
Siapa mau menangani mereka?
Dengan berbagai keterbatasan, ketika saya memimpin Institut Kemandirian Dompet Dhuafa (semoga dilanjutkan oleh para pemimpin berikutnya), sejak 2005 memberi prioritas belajar kepada siswa kuadran empat ini. Awalnya kami hanya berikan pelatihan keterampilan selama 2-3 bulan sampai mereka mahir dan bisa bekerja. Tapi seiring berjalannya waktu, pilihan pelatihannya pun kian beragam. Lalau dulu sasaran tempat bekerjanya hanya di Indonesia, kini kami sudah bisa berambah sampai Korea Selatan dan Jepang.
Program Diaspora Development memang dirancang untuk mereka, penghuni kuadran empat. Program kuliah dan bekerja di luar negeri, awalnya memang diragukan. Bagaimana mungkin mereka yang lulus sekolah di ranking 10 terbawah, bisa menyelesaikan studinya, di luar negeri pula. Temuan kami di lapangan, ternyata bodoh itu bukan bawaan lahir. Seringkali muncul kebodohan karena kesempatan. Dengan memberi mereka kesempatan belajar, termasuk berbagai fasilitasnya, kebodohannya tertimbun oleh prestasi.
Penghasilan mereka dari bekerja juga cukup besar. Ada yang sudah menyentuh 15 juta rupiah perbulan. Diaspora Development : kebodohan terusir, kemiskinan terentaskan.
Comments
Post a Comment