Apa sebenarnya yang diinginkan oleh seseorang ketika dia membenamkan uangnya dalam bentuk saham? Tentu saja dividen dari kepemilikan perusahaan tersebut. Lalu, bagaimana halnya dengan sebuah bisnis sosial yang ekstrim seperti Grameen Bank, juga Grameen Danone, yang menerapkan zero dividen kepada para pemegang sahamnya?
Menurut sang Begawan, Prof. Muhammad Yunus, perusahaan sosial yang mampu mengangkat harkat dan martabat jutaan kaum miskin di Bangladesh itu, tidak pernah membagikan keuntungan kepada para pemegang sahamnya. Semua profit perusahaan dire-investasi untuk membesarkan bisnis. Dan senyatanya, Grameen masih berkibar hingga kini. Lalu apa yang didapat oleh para pemegang saham?
Yunus menganalogikan saham dengan sejumlah dana yang diserahkan kepada lembaga tertentu seperti Yayasan atau organisasi sosial. Bedanya, di Grameen ada laporan keberlanjutan perusahaan, yang mencatat semua aktivitas perusahaan secara berkala, juga keuntungan/kerugian yang dialami oleh perusahaan, manfaat yang diberikan dari dana tersebut dan penerima manfaatnya. Dan itu semua dilaporkan secara terbuka. Bahkan siapapun bisa memintanya kepada manajemen perusahaan sosial itu. Dana di lembaga lain seperti tersebut di atas, belum tentu ada laporan keberlanjutannya. Jangankan itu, laporan keuangannya pun nyaris tidak ada, atau kerap penuh rekayasa. Apalagi di Indonesia. Rawan penyelewengan, karena kurang pengawasan.
Di perusahaan sosial seperti yang dikelola pemenang Nobel Perdamaian 2006 itu, dana kepemilikan saham memiliki manfaat berganda. Benefitnya meningkat dari tahun ke tahun, dan dilaporkan penggunaannya. Penerima manfaatnya juga bertambah. Beda dengan lapak sebelahnya. Bukankah ini yang menjadi bekal hidup manusia yang sesungguhnya? Bukan profit, tapi benefit sebagai manusia yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia lain ...
Selain Kanjeng Nabi, nama dan ujaran prof. Yunus ini terus terngiang di telinga ...
Comments
Post a Comment