Dalam satu pekan ini saya mencoba melepas kepenatan sehari-hari dengan kembali menekuni jalan-jalan spiritual yang dilakoni oleh beberapa sahabat baru: Maria Hartiningsih dan Mohammad Zaim. Mbak Maria menulis buku Jalan Pulang, dan mas Zaim menulis buku Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat. Diskusinya dipandu staf pengajar STF Driyarkara yang pernah saya kenal saat mengajar di Universitas Paramadina, yang juga ‘kepala sekolah’ mas Budhy Munawar Rachman
Beberapa paparan dari para pembicara mengingatkan apa yang pernah saya lakukan di masa lalu. Belajar meditasi bersama pak Gede Prama di Tajun, Bali Utara, duduk tekun mendengarkan paparan ‘tak bersemangat’ dari Dalai Lama, sampai mengunjungi biara Plum tempat aktivis perdamaian Thích Nhất Hạnh bermukim. Pengembaraan yang mengantar saya pulang ke Mekkah dan Madinah, mengunjungi Ka’bah dan berziarah ke makam Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan saya, seperti mbak Maria dan mas Zaim, dan juga beberapa kawan lain yang sempat sharing, seolah bermuara pada satu kesimpulan: setiap orang menemukan jalannya sendiri. Banyak di antara kami, walau sempat cukup lama berinteraksi dengan keseharian teman-teman yang berbeda keyakinan, tapi tetap menjalankan laku ritual agama yang dianutnya secara turun-temurun. Hanya saja, keyakinan pada ajaran kami masing-masing justru semakin mendalam.
Mas Zaim menemukan kekhusyu’an dalam beribadah setelah menjalani banyak ritual keseharian di biara Plum. Hal yang tidak bisa dia temukan saat belajar di pesantren, dari para ustadz yang banyak berpetuah soal pentingnya shalat khusyu’. Menariknya, dalam dua diskusi yang sudah saya ikuti, berbagai agama dan keyakinan tidak berdebat soal perbedaan yang ‘panas’, tapi soal kesamaan, dan saling menghormati. Bukankah itu tujuan semua agama?
Comments
Post a Comment